Temple Grandin adalah salah satu film biografi terbaik bertema autisme yang pernah diproduksi. Film rilisan HBO tahun 2010 ini dibintangi Claire Danes, yang memerankan Temple Grandin, seorang perempuan dengan autisme yang berhasil menjadi ahli peternakan ternama dan advokat global untuk komunitas autistik.
Melalui narasi visual dan alur emosional yang kuat, film ini menyoroti perjuangan Temple di masa ketika autisme masih sangat disalahpahami. Temple Grandin bukan hanya kisah sukses individu, tetapi juga catatan penting tentang bagaimana pemahaman masyarakat terhadap autisme berkembang dari waktu ke waktu.
Sinopsis dan Cerita
Film dibuka dengan Temple Grandin yang berdiri di ruangan penuh ilusi optik. Ia memperkenalkan diri, “Nama saya Temple Grandin. Saya tidak seperti orang lain. Saya berpikir dalam gambar, dan saya menghubungkannya.” Kalimat ini menjadi kunci memahami cara berpikir Temple, yang kelak menjadi kekuatannya dalam karier dan hidup.
Latar cerita berpindah ke tahun 1966, saat Temple berlibur di peternakan bibinya di Arizona sebelum memulai kuliah. Di sana, penonton bisa melihat ciri khas autisme pada Temple: sensitif terhadap suara bising, tidak nyaman disentuh, dan suka mengulang dialog dari acara TV favoritnya. Di balik perilaku itu, Temple menunjukkan kecerdasan visual luar biasa yang ia gunakan untuk merancang alat pembuka gerbang otomatis, salah satu inovasi awal yang dia ciptakan.
Interaksi Temple dengan hewan ternak juga menjadi titik penting film ini. Ia menunjukkan kedekatan emosional dengan sapi, yang kelak menjadi fondasi karyanya dalam bidang peternakan.
Tantangan di Dunia Pendidikan
Saat mulai kuliah di Franklin Pierce College, Temple menghadapi tantangan besar. Lingkungan baru membuatnya cemas, sementara kesulitan sosialnya kerap disalahartikan. Untuk menenangkan diri, Temple merancang squeeze machine atau mesin peluk, alat yang memberikan tekanan lembut mirip pelukan untuk meredakan kecemasan.
Sayangnya, alat ini sempat disalahpahami sebagai alat seksual dan disita oleh pihak kampus. Namun, Temple tak menyerah. Berbekal dorongan dari ibunya dan bibinya, ia melakukan penelitian ilmiah tentang manfaat mesin peluk tersebut, hingga akhirnya berhasil meyakinkan pihak kampus dan lulus sebagai mahasiswa terbaik.
Karier dan Perjuangan Profesional
Sebagai mahasiswa pascasarjana di Arizona State University, Temple menyadari perlakuan kejam terhadap sapi di pemandian ternak. Dengan empati dan pemahaman uniknya terhadap perilaku hewan, ia merancang struktur pemandian yang lebih manusiawi dan efisien. Inovasinya mendapat perlawanan, tapi Temple gigih memperjuangkannya.
Temple menyadari bahwa ternak yang stres tidak hanya menderita, tapi juga berdampak buruk bagi bisnis. Ia berkata, “Apa yang baik untuk sapi juga baik untuk bisnis.” Desainnya kini digunakan di lebih dari separuh rumah potong hewan di Amerika Serikat.
Di akhir film, Temple berbicara di Konvensi Autisme Nasional tahun 1981. Di depan orang tua dan penyintas autisme lainnya, ia menyampaikan bahwa dirinya tidak “sembuh” dari autisme, tapi belajar untuk mandiri dan menemukan jalannya. Film ditutup dengan pengakuan bahwa dirinya siap membuka pintu baru sebagai advokat autisme.
Akting Claire Danes dan Representasi yang Meyakinkan
Claire Danes tampil memukau dalam memerankan Temple Grandin. Ia berhasil membawa nuansa dan ekspresi khas seorang penyandang autisme tanpa terkesan berlebihan atau tidak wajar. Tidak ada satu pun adegan dalam film ini yang terasa dibuat-buat dan tidak meyakinkan.
Sebagaimana disampaikan oleh seorang penonton, film ini tidak jatuh pada jebakan “menguatkan stereotip,” sebagaimana yang sering dikritisi pada film-film seperti Rain Man. Justru sebaliknya, Temple Grandin menunjukkan bahwa setiap individu autistik adalah pribadi yang unik. Mereka bukanlah kumpulan gejala atau keistimewaan tunggal, tapi manusia dengan beragam potensi, kekuatan, dan tantangan.
“Autisme adalah cara berbeda dalam mengalami dunia, bukan sekadar ‘kelebihan’ atau ‘keterbatasan.’ Jika mereka berada dalam lingkungan yang mendukung pola pikir mereka, mereka bisa tumbuh dan berkembang seperti siapa pun.” – komentar seorang penonton melalui platform IMDB.
“Temple Grandin adalah salah satu potret paling realistis tentang individu autistik yang pernah muncul di film atau TV. Film ini menampilkan sisi positif dan tantangan autisme tanpa meminta simpati atau merasa perlu meminta maaf atas perbedaan. Temple digambarkan sebagai pribadi fokus, percaya diri, dan berani, yang berhasil karena cara berpikirnya yang unik. Film ini mengingatkan kita bahwa autisme bukan penyakit, bukan tragedi, melainkan cara lain dalam memandang dunia.” tulis seorang penonton lain melalui platform yang sama.
Film yang Menginspirasi dan Edukatif
Temple Grandin tidak hanya menghibur, tetapi juga memberikan edukasi penting tentang spektrum autisme. Film ini menggambarkan perjuangan individu autistik untuk mandiri dan diakui, tanpa mengeksploitasi atau meromantisasi kondisinya.
Bagi orang tua, pendidik, atau masyarakat umum yang ingin memahami autisme secara nyata dan manusiawi, film ini sangat direkomendasikan. Temple Grandin menegaskan pentingnya empati, pendidikan, dan ketekunan dalam mendukung individu dengan autisme.
Namun, perlu mencatat bahwa film ini memuat beberapa adegan yang mungkin tidak cocok untuk anak kecil, seperti perlakuan kasar terhadap sapi di peternakan dan kilas balik saat Temple mengalami perundungan. Meski tidak ada konten vulgar, kekerasan terhadap hewan dan adegan emosional dalam film ini lebih sesuai untuk remaja dengan pendampingan dan orang dewasa.
Bagi Ayah Bunda yang mencari inspirasi dan pemahaman lebih dalam mengenai autisme, Temple Grandin adalah tontonan wajib. Film ini menegaskan pentingnya empati, pendidikan, dan ketekunan dalam membangun hidup yang bermakna, tanpa harus mengubah siapa diri kita sesungguhnya.
***
Sumber: Emmy Award-Winning Film Temple Grandin is A Brilliant and Compelling Biographical Masterpiece, New York Post dan IMDB
Baca juga: Autisme pada Orang Dewasa, Apa Saja Tantangan dan Peluang yang Dihadapi?