You are currently viewing Perencanaan Keuangan Keluarga Menghadapi Resesi

Perencanaan Keuangan Keluarga Menghadapi Resesi

Narasumber: Maryadi Santana, CFP

Tahun 2023 diprediksi akan menjadi tahun yang penuh tantangan terutama pada segi ekonomi, beragam faktor global mau tidak mau juga akan berimbas ke Indonesia. Meskipun Indonesia termasuk negara yang memiliki ketahanan finansial yang baik hingga memiliki optimisme tersendiri terkait resesi ini, tetap saja perlu didukung dengan membuat perencanaan dalam menghadapi resesi yang akan datang.

Setiap keluarga tentunya ingin menikmati hidup yang tenang terutama dalam urusan finansialnya.

Meskipun begitu, pada kenyataannya banyak riset yang menyatakan bahwa sebagian besar keluarga tidak atau belum memiliki kesiapan keuangan keluarga karena tidak adanya perencanaan dan strategi yang matang dalam keuangan keluarga.

Dua hal mendasar yang perlu diperiksa terkait keuangan keluarga

1.       Periksa pemasukan dan pengeluaran

Yakinkan diri ayah bunda bahwa pengeluaran keluarga tidak melebihi pendapatan. Jika setelah dicek ternyata posisi keuangan keluarga ayah bunda minus, alias pengeluaran lebih besar daripada pemasukan maka sebaiknya ayah bunda membuat rincian pengeluaran dan melakukan review terhadap pengeluaran tersebut.

2.       Periksa aset

Setiap keluarga memiliki aset dan umumnya tidak mencatat aset-aset yang dimiliki. Padahal aset bersih yang dimiliki ayah bunda adalah kekuatan finansial yang ada di belakang keluarga ayah bunda.

Pengecekan atas dua hal di atas akan memiliki dampak yang besar karena dua hal tersebut adalah dasar untuk maju ke pada hal berikutnya, yaitu membuat anggaran.

Bagaimana cara membuat anggaran keluarga?

Membuat anggaran keluarga tidak serumit kedengarannya. Sederhananya, ayah bunda dapat merinci, apa saja sumber penghasilan di keluarga dan jumlahnya berapa. Kemudian apa saja pos-pos pengeluaran yang dikeluarkan. Pemasukan dan pengeluaran ini bukan hanya pemasukan dan pengeluaran rutin (seperti belanja bulanan, premi asuransi, BPJS kesehatan, cicilan motor) namun juga pemasukan dan pengeluaran yang terjadi sewaktu-waktu, seperti pemasukan dari bonus tahunan, dan pengeluaran sewaktu-waktu seperti pengeluaran Pajak Bumi dan Bangunan.

Tiga kriteria pengeluaran: wajib, butuh dan ingin

Budget tiap rumah tangga akan berbeda, budget Ibu Yuli akan berbeda dengan Bunda Putri meskipun penghasilannya nilainya sama. Hal ini disebabkan karena pola hidup yang berbeda. Tetapi sebetulnya ada 3 hal utama yang harus dibedakan: Hal yang wajib, yang butuh dan yang ingin.

Umumnya akan terjadi bias antara hal yang diinginkan dengan hal yang dibutuhkan, hal yang dibutuhkan dengan hal yang diwajibkan.

Sebagai contoh, di rumah sudah cukup banyak pakaian dengan model yang terkini, namun masih ada keinginan untuk membeli yang baru. Setelah menimbang-nimbang kemudian rasa ingin itu berubah menjadi rasa membutuhkan membeli yang baru dengan warna yang berbeda. Selama budgetnya ada, hal itu tidak akan bermasalah namun sebaiknya dipilah dan dipilih, mana yang betul-betul dibutuhkan.

Untuk lebih jelasnya, berikut contoh jenis pengeluaran untuk ketiga kriteria tersebut:

1.       Pengeluaran wajib

Pengeluaran wajib ini umumnya adalah pengeluaran tetap atau fixed expense yang merupakan jenis pengeluaran dimana waktu pembayaran dan besarannya cenderung tetap. Misalnya belanja bulanan (seperti kebutuhan dapur, listrik dan air), pembayaran cicilan, iuran pengelolaan lingkungan, biaya SPP sekolah.

2.       Pengeluaran butuh

Pengeluaran yang dalam kategori butuh antara lain pengeluaran bulanan atas kebutuhan yang sesekali dibeli karena dibutuhkan pada saat itu dan pengeluaran untuk keamanan finansial seperti dana pensiun, dana darurat. Jenis pengeluaran untuk keamanan finansial ini seringkali dianggap tidak dibutuhkan, padahal sangat krusial.

3.       Pengeluaran ingin

Pengeluaran pada kategori ingin, adalah jenis pengeluaran yang terjadi karena pembayaran atas suatu hal yang tingkat pentingnya dibawah dua jenis pengeluaran sebelumnya. misalnya membeli pakaian dengan model yang sama dengan yang sudah ada, hanya berbeda warna saja.

Kriteria pengeluaran yang wajib, butuh dan ingin ini bukanlah kriteria yang kaku, misalkan ayah bunda yang memiliki bayi dan belum memiliki memiliki stroller, stroller dengan kualitas yang baik bisa masuk ke dalam kategori barang yang dibutuhkan, namun jika ayah bunda sudah memiliki stroller dengan kualitas baik kemudian berpikir untuk membeli stroller kedua, maka stroller kedua tersebut masuk ke dalam kategori ingin.

Bagaimana cara membuat anggaran?

Cara paling mudah dalam membuat anggaran adalah dengan menggunakan excel. Diasumsikan pendapatan berasal dari gaji dan bonus kerja kantoran, pada excel tersebut buatlah tabel yang berbeda (atau sheet yang berbeda) antara pendapatan yang didapat secara rutin bulanan (gaji), dan pendapatan yang didapat tidak rutin secara bulanan seperti bonus tahunan.

Jika bonus diperoleh bulanan dan cenderung pasti mendapatkannya secara bulanan. ayah bunda dapat masukkan item bonus bulanan tersebut dalam tabel yang sama dengan gaji. Jika bonus diperoleh dua bulanan, angka bonus ini bisa juga dibagi prorata untuk dua bulan jika ayah bunda ingin menyederhanakan tampilan anggaran pada excel yang sedang dibuat.

Kemudian buatlah pos-pos pengeluaran, mulai dari pengeluaran wajib hingga pengeluaran ingin. Tentunya pendapatan harus dapat menutupi pengeluaran wajib terlebih dahulu, kemudian sisanya dapat dialokasikan untuk pengeluaran butuh dan pengeluaran ingin. Disinilah ayah bunda perlu mengenali pola belanja keluarga ayah bunda.

Namun jika ayah bunda masih belum mengenali pola belanja dari keluarga ayah bunda, cara paling mudah untuk mengetahuinya adalah dengan membuat catatan dari pembelanjaan bulan-bulan sebelumnya untuk kemudian dibandingkan bulan per bulan agar memahami pola yang biasa berjalan.

Anggaran dan realisasi anggaran memang sebaiknya dibuat secara detil namun bukan berarti menyulitkan. Mencatat pengeluaran sekecil-kecilnya mungkin akan menyulitkan bagi sebagian besar orang namun bukan berarti tidak ada solusinya.

Di era aplikasi saat ini memang terdapat banyak aplikasi pencatatan pengeluaran yang dapat memudahkan ayah bunda mencatat apa saja yang sudah dibeli, tentunya aplikasi tersebut tetap membutuhkan ketelitian ayah bunda untuk mencatat yang sudah dibeli. Jika pun ayah bunda tetap merasa kesulitan untuk mencatat secara rinci, yang terpenting adalah sudah membuat anggaran yang digunakan sebagai ‘peta’ finansial keluarga.

Membuat anggaran adalah pondasi agar lebih mudah untuk membuat rencana-rencana ke depan sehingga diharapkan keluarga ayah bunda lebih siap menghadapi resesi yang diperkirakan akan hadir di tahun-tahun mendatang.

Bagaimana menyiasati kebiasaan impulsive buying?

Hal paling utama untuk menyiasati keadaan tersebut adalah memahami batasan belanja, kontrol sepenuhnya ada di tangan ayah bunda. Belanja bulanan bisa naik turun jumlahnya.

Memahami batas belanja adalah dengan memiliki list belanja ketika membuat budgeting. List belanja umumnya hanya dibuat pada saat akan berangkat belanja, bisa saja hal seperti itu dilakukan namun membuat list dari jauh hari secara otomatis akan membuat kita menilai perlu tidaknya suatu barang untuk dibeli, hal ini sangat berdampak dalam menekan kebiasaan impulsive buying.

Membuat list pada awal pembuatan anggaran penting untuk mengetahui apa saja yang mau dibeli tetapi yang lebih penting adalah mengetahui pola belanja. Selama ini belanja bulanan itu habis berapa? Polanya bagaimana? Lihat dari realisasi pembeliannya, bisa dari catatan, struk atau dari rekening (jika mendebit dengan kartu). Dari catatan tersebut dapat dlihat paling besar sebulannya berapa.

Jika ayah bunda menganggarkan Rp. 5.000.000 untuk belanja rumah tangga selama sebulan, bukan berarti sejumlah tersebut harus dihabiskan dalam sekali belanja, karena bukan tidak mungkin dalam bulan itu kita akan beberapa kali pergi berbelanja.

Jika ternyata anggaran sebesar Rp. 5.000.000 masih belum cukup, berarti harus melakukan finansial review dan penataan ulang atas anggaran rumah tangga karena bisa jadi ada pos yang belum terpenuhi atau ada pos yang terlalu besar persentasenya sehingga pos tersebut bisa dikurangi untuk memenuhi anggaran lain yang dirasa tidak memadai.

Financial Review

Ada kalanya ayah dan ibu merasa salah satu pos pengeluaran terlalu besar jika dibandingkan dengan pos yang lain. Apakah hal ini wajar atau tidak, ayah bunda dapat menilainya dengan membuat persentase atas masing-masing pos pengeluaran terhadap pemasukannya.

Sebagai contoh, pendapatan ayah bunda jika digabungkan adalah sejumlah Rp. 25.000.000 dan pengeluaran wajib adalah 17.500.000 (70% dari pendapatan), 30% sisanya yaitu Rp. 7.500.000 akan dialokasikan untuk pengeluaran butuh dan pengeluaran ingin. Jumlahnya berapa persen pada masing-masing pos, ayah bunda dapat mendiskusikannya, Jika pengeluaran ingin berupa healing ternyata sejumlah Rp. 3.000.000 (12%) dari pendapatan, maka dapat dianalisa apakah 12% itu adalah persentase yang wajar bagi keuangan keluarga ayah dan bunda.

Healing adalah sebuah kewajaran, baik healing berupa hangout glamping bersama anak-anak, liburan ke luar negeri atau langganan menonton streaming seperti Netflix dan Disney Hotstar untuk ditonton bersama keluarga di rumah. Poin yang harus diingat adalah, apakah nilai persentase itu dianggap wajar oleh ayah bunda? Apakah dengan persentase tersebut tidak ada pos pengeluaran yang terabaikan?

Baca juga: Pos pengeluaran yang dibutuhkan namun jarang dialokasikan

Berapa persentase suatu pos, sehat atau tidaknya persentase tersebut harus melihat kepada komposisi pos-pos yang lain dan melihat juga kondisi saat ini. Jika ayah bunda memiliki anak atau masih menanggung orang tua, berarti memang ada pos yang pengeluarannya besar, dan itu adalah hal yang wajar.

Angka persentasenya pos-pos pengeluaran tersebut tidaklah kaku, ayah bunda sendiri yang menilai sendiri wajar atau tidaknya sebuah pos pengeluaran. Jika ada persentase yang tidak wajar, diskusikan item pada pos mana yang perlu dikurangi. Hal ini berlaku untuk semua pos pengeluaran.

Jika memang ternyata tidak wajar, ayah bunda harus mengubah proporsi anggaran keluarga ayah bunda. Mengubah pola belanja memang bukan hal yang mudah dan tidak bisa langsung berhasil, biasanya ada proses sekitar 3 bulan untuk dapat menyesuaikan dengan pola belanja yang baru.

Poin yang penting adalah memahami batas belanja dan melihat prioritas, jika ada pos anggaran yang naik harus dipikirkan pos mana yang harus dikurangi supaya pengeluaran tidak melebihi pendapatannya.

Membuat list pengeluaran akan bermanfaat pada saat finansial review karena ayah bunda akan dapat melihat mana saja item pengeluaran yang dirasakan tidak efektif, misalnya ada layanan digital berlangganan yang ternyata jarang atau tidak pernah digunakan. Pengeluaran ini bisa dihapuskan agar dananya dapat digunakan untuk pos yang lain.

Penataan ulang anggaran ini bisa jadi akan berulang kali terjadi, pasti terjadi trial and error sebelum ayah bunda memiliki pola yang dirasakan pas bagi finansial keluarga. 

Menyelesaikan utang demi kekuatan finansial yang lebih baik

Memiliki utang adalah hal yang wajar. Namun, utang yang tidak dikelola hingga membuat bunga menjadi semakin besar, akan memberatkan anggaran keluarga ayah bunda. Jika ayah bunda ingin memiliki kekuatan lebih di sisi finansial keluarga terutama saat menghadapi kemungkinan resesi, sebaiknya ayah bunda merencanakan untuk menyelesaikan utang dengan lebih cepat. Ada 3 cara untuk menyelesaikan utang, yaitu:

1.       Stop mengambil pinjaman baru

Adakalanya ayah bunda berpikir untuk mengambil pinjaman baru untuk menambah modal bisnis, namun patut diingat bahwa cicilan ini akan terus ditagihkan bulanan dengan angka yang tetap.

Kalau bisnis ayah bunda adalah pemasukan utama, penghasilan dari bisnis bisa naik turun sementara cicilan tetap. Sebelum mengambil pinjaman baru, lebih baik ayah bunda mereview kembali ke anggarannya, apakah cicilan baru akan mempu dibayarkan setiap bulan dengan penghasilan yang naik turun itu?

Misalkan penghasilan dari bisnis ayah bunda sebesar Rp 25.000.000 dengan pengeluaran yang kurang lebih sekitar Rp 25.000.000 (termasuk cicilan baru), maka tidak disarankan mengambil pinjaman. Karena pada pada saat resesi umumnya penghasilan bisnis akan cenderung turun dari Rp 25.000.000, jika demikian maka ayah bunda akan kesulitan membayar cicilan.

Jika dirasakan harus mengambil pinjaman karena pendapatan terasa kurang, coba review kembali, jika pendapatan bisnis masih fluktuatif, maka ambil pendapatan terendah yang ayah bunda alami, misalkan pendapatan terendah tahun 2022 adalah Rp. 17.000.000 maka pengeluaran dari bisnis tidak boleh melebihi Rp. 17.000.000.

2.       Cari cicilan yang bisa dilunasi lebih cepat

Untuk memulainya, ayah bunda dapat melihat cicilannya paling kecil atau cicilan yang bunganya paling besar. Kemudian tetapkan mana yang paling menguras anggaran. Jika sudah memutuskan, barulah membuat plan.

Misalkan kita memiliki cicilan KPR Rp. 5.000.000/bulan, jika cicilan tersebut bisa dipercepat, sebaiknya dipercepat saja agar dikemudian hari (setelah lunas), ayah bunda dapat mengalokasikan dana untuk hal lain, misalnya buat investasi dana pensiun, biaya asuransi, atau pendidikan anak.

3.       Tambah pemasukan

Tetapkan tujuan pemasukannya untuk membayar cicilan supaya tidak mengambil dari pos lain atau ambil utang baru.

Cara pertama tentu saja dengan mencari penghasilan melalui pekerjaan sampingan atau cara kedua adalah dengan menjual aset yang tidak produktif. Aset yang tidak produktif juga mengeluarkan biaya, dibandingkan ayah bunda mengeluarkan biaya untuk aset yang tidak produktif lebih baik aset tersebut dijual saja.

Bagaimana jika memiliki penghasilan di luar gaji?

Misalkan ayah bunda memiliki bisnis sehingga terdapat penghasilan bulanan dari bisnis (di luar gaji). Maka ayah bunda harus melakukan memisahkan pencatatan pemasukan dan pengeluaran atas kedua sumber penghasilan ini, termasuk memisahkan rekeningnya.

Memisahkan anggaran perbulan pada masing-masing source income bertujuan agar masing-masing pos pengeluaran dari sumber pendapatan yang berbeda tidak saling mengganggu.

Pos-pos apa yang diperuntukkan dibayar dari gaji dan pos-pos mana yang dibayarkan dengan pendapatan dari bisnis. Dari pemisahan ini ayah bunda dapat melihat kecukupan dari masing-masing source income.

Kalau pendapatan dari bisnis dipakai untuk menutup kekurangan pos pengeluaran yang seharusnya dipenuhi dari gaji, jangan heran jika ayah bunda merasa bisnis yang dijalani tidak mengalami kemajuan.

Melalui pemisahan ini, ayah bunda tidak akan kebablasan dan tetap akan bisa memahami sampai mana batas anggarannya. Jika suatu pos sudah mentok di source income A, maka secara otomatis ayah bunda akan lebih berhati-hati dan melakukan financial check-up untuk kedua source income. (*)

==

Contoh excel anggaran keuangan keluarga, silakan mengunduhnya di sini.

This Post Has One Comment

Leave a Reply